"Saya Romo Yustinus Ardianto, Hakim Anggota Pengadilan Perkawinan Keuskupan Agung Jakarta, kata saya dengan suara diseram-seramin," cerita Romo Yus. Ketika itu ia menelepon seorang ketua lingkungan yang 'bikin masalah'. Lalu ia meneruskan,
"Benarkah Bapak melarang seorang Ibu di lingkungan Bapak menerima komuni karena dia bercerai? Bapak melarang itu berdasarkan apa?"
Dengan ragu dan gentar, bapak itu menjawab,
"Saya cuma dengar-dengar dikit, sih, Mo..., orang yang cerai sipil terkena ekskomunikasi, tidak boleh komuni. Memangnya salah, ya, 'Mo?"
Itulah, akibat cuma dengar-dengar dikit dan dengarnya nggak komplet, "ketua lingkungan yang terhormat itu telah mengakibatkan ibu muda -- yang bercerai setelah mengalami KDRT beberapa tahun -- itu tidak berani menerima komuni selama tiga tahun! Ini, kan, menghambat keselamatan!"
Cerita Direktur Pusat Pastoral (Puspas) Samadi ini disambut riuh para peserta Pembekalan Ketua Lingkungan Paroki Bidaracina.
Romo ini melanjutkan, "Seharusnya Anda tanya dulu, sesudah cerai, dia menikah lagi nggak? Kalau dia masuk ke pernikahan kedua yang tidak bisa disahkan, benar, dia tidak boleh terima komuni. Tetapi, kalau dia tidak menikah lagi, haknya untuk menerima komuni tidak berubah."
Dalam sesi pertama pembekalan itu, Romo Uus memaparkan dasar-dasar pelayanan dalam Gereja Katolik, khususnya di KAJ, yang mengedepankan prinsip "Gembala Baik dan Murah Hati".
la memberikan beberapa contoh kasus ketua lingkungan, juga prodiakon dan DPH yang sering bertindak melebihi 'wewenang' dan malah menjadi penghambat kasih karunia Allah. la juga memperlihatkan contoh beberapa pastor paroki yang bikin aturan sendiri di parokinya, seperti melarang misa perkawinan pada-- bahkan sebelum -- masa Adven atau Prapaskah. Padahal, aturan Gereja hanya menganjurkan untuk tidak melangsungkan perkawinan pada masa-masa tersebut. Kalau tetap ingin dilakukan boleh saja, asal dekorasi gereja tidak berlebihan. la juga menyoroti romo yang melarang seorang anak dibaptis karena orang tuanya tidak menikah sah.
"'Arep tak plinteng' kata Bapak Uskup," kutip Romo Yus, mengisahkan ketika Uskup Suharyo mendengar laporan tentang seorang romo yang melarang umatnya mengadakan misa arwah di rumah. "Orang Jawa ngerti, Itu artinya: 'gua kepret lo!' Bapak Uskup yang biasanya bicara halus, sampai ngomong begitu, berarti sudah marah sekali. Itu bertentangan dengan prinsip Gembala Baik dan Murah Hati."
"Kita jangan mendiskriminasi," jelas mantan ketua Komisi Komsos KAJ ini. "Tugas Gereja itu merangkul, bukan menyingkirkan. Ketua lingkungan harus peka dengan masalah yang tengah dihadapi umat, karena ketua lingkungan adalah gembala yang paling dekat dengan umat. Pastor paroki biasanya tahu belakangan.
la mengajak peserta meneladan pribadi Paus Fransiskus yang memilih tinggal di apartemen kecil dan sederhana. Paus yang menempati ranking ke-6 tokoh terpopuler dunia ini juga sering mengungkapkan bahwa "Gereja bukanlah pertama-tama institusi, melainkan suatu rumah sakit di medan perang dan "Gereja hadir bagi orang-orang sakit, orang-orang berdosa". Inilah bentuk kerendahan hati dan kesederhanaan Paus dengan gaya kepemimpinannya yang unik.
Romo Yus juga mengajak peserta mengenali karakter pemimpin. la menekankan agar para ketua lingkungan, juga pengurus DPH, seksi, prodiakon, dsb., tidak membanggakan pangkat, jabatan, atau prestise sebagai pengurus paroki. Itu sama sekali tidak benar. "Orang seharusnya berfokus pada fungsi pelayanan, bukan tingkat pelayanan."
Get e-mail updates about our latest shop and special offers.